Sebagai
warga negara Indonesia mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan kata
‘Pancasila’ atau ‘Kewarganegaraan’. Jelas, karena sejak kita menginjakkan kaki
di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama kita sudah disuguhi
dengan oleh pelajaran Pendidikan Pancasila atau Pendidikan Kewarganegaraan.
Sejak sekolah dasar, Pendidikan
Pancasila saja mulai disuguhkan dengan butir-butir Pancasila. Bahkan selama dua
belas tahun kita mengenyam pendidikan formal kita sudah dibiasakan untuk
melafalkan butir-butir Pancasila setiap kali diadakannya upacara setiap hari
Senin, dan hari-hari besar nasional.
Selama itulah, kita diajarkan
bermacam-macam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, bagaimana seorang
manusia bersikap baik sebagai warga negara yang memiliki sifat nasionalisme,
tanggung jawab, tenggang rasa, gotong royong, dan lain sebagainya.
Awal dari itu semua, selama kita
mengenyam pendidikan di sekolah dasar, kita sudah diajarkan berbuat kebaikan
berdasarkan norma dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Selama enam tahun
inilah, kita sebagai manusia yang masih polos dan masih bertindak dalam keadaan
bermain saja sudah mulai memikirkan akan jadi apa kita nanti. Kita berfikir
menjadi seorang manusia yang baik yang
mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan bercita-cita menjadi warga negara yang
baik dan berjuang menjunjung dan menaikkan martabat bangsa dan negara.
Kemudian mulailah kita masuk ke
dalam lingkungan sekolah yang baru, kita mulai merasakan perubahan dalam diri
kita, perubahan dari anak-anak menuju remaja yang mulai semakin mengerti akan
kehidupan.
Tentunya kita akan bicara tentang
realita kehidupan anak zaman sekarang ini. Mungkin hanya sebagian kecil saja
atau bahkan tidak ada murid yang memiliki antusias yang lebih akan mata ajar
yang satu ini; Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Mari kita lihat situasi sekarang
ini. Murid-murid sekolah menengah pertama dan atas mulai bersikap dan bertindak
sembarangan dan tidak baik, yang sebenarnya mereka adalah para penerus bangsa
kita, para pemimpin bangsa kita.
Hal inilah yang mulai dikhawatirkan
oleh para cendekiawan, pengamat, dan para orangtua.
Apakah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan selama dua belas tahun belum cukup? Ataukah ada yang salah
dengan metode pengajaran yang diberikan kepada murid? Atau memang jiwa
nasionalisme bangsa ini sudah tidak ada lagi.
Pada masa di sekolah menengah
pertama kita mulai mengenal dunia luar lebih jauh lagi. Mulai mengenal
orang-orang dari berbagai lingkungan. Disinilah jiwa dan pikiran remaja awal
ini diuji. Apakah kita adalah seorang anak yang memiliki jiwa penasaran yang
besar, namun kita tetap menahan diri dan tidak terlalu terjerumus atau kita
adalah seorang anak yang memiliki jiwa penasaran yang sangat kuat namun kita
tidak bias menahan diri dan membiarkan ombak-ombak kehidupan menerpa kita dan
membiarkan kita terlalu jauh terseret arus.
Di masa inilah kita mulai diuji.
Pendidikan Pancasila hanyalah pelajaran formal yang tidak perlu terlalu
dipikirkan atau bahkan untuk diamalkan. Murid-murid sibuk bermain dan mulai
mencoba hal-hal baru.
Kemudian hal-hal baru yang mereka
ikuti tanpa mereka tahu sebab akibatnya akan mulai melekat dan menjadi
kebiasaan bagi mereka. Sekarang ini saja kita mendengar berita-berita tawuran,
kekerasan, bahkan sampai kepada pelecehan seksual yang dilakukan oleh para
remaja yang masih duduk di bangku menengah pertama.
Dimana nilai dan norma yang
terkandung dalam Pancasila yang sering kita lafalkan setiap hari Senin? Dimana
hasil dari pelajaran itu sendiri yang dapat kita amalkan di kehidupan remaja
awal kita?
Padahal awal dari nilai-nilai kesopan
santunan dan sikap nasionalis kita berawal dari pendidikan formal kita selama
dua belas tahun.
Setelah kita lulus dari sekolah
menengah pertama kita akan masuk ke kehidupan remaja sebenarnya yaitu sekolah
menengah atas. Disinilah kebiasaan-kebiasaan yang sudah tertanam di sekolah
menengah pertama semakin dipupuk.
Perkembangan globalisasi semakin
pesat, dan sangat sulit untuk dicegah atau bahkan untuk diantisipasi agar tidak
semakin merusak generasi bangsa.
Kita tahu dan menyadari dalam
kehidupan realita. Para murid sekolah menengah atas saja mulai tidak memilik
antusiasme terhadap mata ajar Pancasila dan Kewarganegaraan. Mereka hanya
menganggap mata ajar tersebut hanyalah sebuah formalitas dan tugas yang wajib
mereka kerjakan dan mereka pelajari dan ketahui tanpa mereka mengamalkannya.
Mereka mulai terlena dan tergoda
dengan tawaran-tawaran menarik akan perkembangan dunia internasional dan era
globalisasi. Mereka lebih memilih kehidupan yang bebas tanpa adanya jiwa
nasionalis yang menuntun mereka.
Pertanyaan-pertanyaan semakin
bermunculan; sudah hilangkah rasa nasionalisme dalam diri remaja kita? Siapakah
yang akan kita harapkan untuk meneruskan cita-cita bangsa kita? Siapakah yang
akan memimpin bangsa kita kelak?
Namun, janganlah kita berpikir bahwa
benar-benar tidak ada lagi para generasi muda yang ingin menjadi penerus
bangsa. Masih banyak para generasi muda yang juga memiliki jiwa nasionalisme
yang kuat.
Jiwa muda kita tergoda akan
perkembangan zaman, kita tidak lagi memikirkan apa itu Pancasila dan
Kewarganegaraan. Kita hanya memikirkan ‘sekarang’ dan bukannya ‘nanti’ yang
akan ditimbulkan oleh sikap kita sekarang ini.
Disinilah kita sebagai penerus
bangsa dan berjiwa muda mulai memilah-milah gaya hidup dan melihat adakah
kecocokan dengan butir-butir dan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sampai
saat ini sebagian mungkin masih belum menyadari dan masih nyaman akan kehidupan
yang mereka jalani; “kehidupan mengikuti arus perkembangan jalan”.
Lulus dari sekolah menengah atas
kita mulai bangga dengan status kita sebagai seorang mahasiswa. Kita mulai
memasuki dunia yang benar-benar baru. Sekolah informal, tanpa seragam, dan kita
bebas berkspresi dengan karya-karya kita.
Didunia perkuliahan inilah kita
semakin diuji dan ditentukan apakah kita benar-benar seorang penerus bangsa
yang professional dan mampu membawa nama bangsa kita semakin berkibar dan
dihormati oleh bangsa lain.
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan tidak berhenti sampai di tingkat sekolah menengah pertama saja,
namun mata ajar ini kembali diajarkan.
Semakin muncul pertanyaan yang
spesifik; pentingkah ilmu kewarganegaraan bagi mahasiswa?
Bersyukurlah kita sebagai mahasiswa
mendapatkan pelajaran tambahan dari ilmu kewarganegaraan. Karena sebagian dari
kita masih tidak mampu untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Dan kita
masih diberikan kesempatan terkakhir dan sangat besar untuk mendalami ilmu
kewarganegaraan.
Jawaban dari pertanyaan di atas
sangatlah singkat dan gambling; ilmu kewarganegaraan sangat penting karena kita
sebagai mahasiswa adalah penerus bangsa yang pastinya akan memimpin dan membawa
kemana bangsa ini akan berlayar ke seluruh dunia.
Jawaban itulah yang lebih kurang
pasti kita dengar secara gamblang dan mudah dijawab oleh semua lapisan
masyarakat.
Fakta yang terjadi sekarang ini
adalah sangat sulit sekali untuk menekankan ilmu kewarganegaraan agar rasa
nasionalisme muncul. Kita lihat sekarang ini di beberapa daerah masih
bermunculan kerusuhan yang dilakukan oleh para mahasiswa, dengan dalih protes
terhadap pemerintah berupa demo yang berujung kerusuhan.
Hal ini yang harus kita ubah. Ilmu
kewarganegaraan di bangku kuliah memiliki metode yang berbeda, dengan materi
yang berbeda. Biasanya, selama dua belas tahun ini kita hanya membaca, menulis,
dan mengerjakan tugas serta soal ujian, sekarang ini, metoda di perkuliahan
lebih kompleks.
Ilmu kewarganegaraan diajarkan mulai
dari metode kuliah mimbar sampai dengan diskusi. Lebih menariknya lagi, mata
kuliah ini diharapkan mampu merangsang para mahasiswa untuk menggali kembali
rasa nasionalisme dan kesadaran akan diri mereka sebagai penerus bangsa.
Mahasiswa akan diminta untuk
melakukan studi kasus, melakukan debat diskusi bersama teman-temannya, dan
mengkaji ulang permasalahan-permasalahan yang sedang melanda bangsa ini seperti
korupsi, permasalahan politik, kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Hal ini akan mendorong mahasiswa
untuk semakin bepikir dan mulai merasakan rasa nasionalisme mereka yang telah
lama hilang, yang sudah lama sekali mereka tidak rasakan selama belasan tahun.
Setelah mempelajari ilmu
kewarganegaraan, diharapkan mahasiswa dapat bepikir lebih rasionalis, lebih
kreatif, dan semakin menimbulkan rasa semangat akan memperjuangkan bangsa ini.
Mahasiswa diharapkan agar bersikap
profesional, dan intelektual. Menjadi penerus bangsa yang bertanggung jawab,
adil, dan memiki rasa solidaritas yang kuat antar sesamanya.
Bangsa kita membutuhkan penerus yang
pintar dan cerdas. Membutuhkan pemimpin dari kalangan cendekiawan,
berintelektual. Bukan hanya sekedar pemimpin dari sebuah partai politik yang
dibaliknya memiliki kebutuhan dan masih memikirkan keuntungan yang akan didapat
bagi partainya.